Sunday, November 11, 2012

MEDIA DI ERA DIGITAL

MEDIA DI ERA DIGITAL


(oleh: Diah Ayu Candraningrum MBA, MSi)

Newsweek




Newsweek merupakan majalah berita mingguan terbesar kedua di dunia setelah Time. Majalah ini juga menjadi sebuah fenomena perkembangan layout, fotografi, dan konten yang membedakannya dengan majalah berita lainnya.

Majalah Newsweek menulis di akun twitter nya: “Setelah hampir 80 tahun perjalanan menjadi media cetak, Newsweek akan go digital. Kami akan terbit terakhir di Amerika Serikat pada 31 Desember 2012.”

Newsweek memutuskan untuk tidak lagi memproduksi Newsweek dalam bentuk cetak. Tina Brown selaku pimpinan majalah Newsweek menjelaskan penyebab perubahan media yang akan dilakukan oleh Newsweek dikarenakan pada tahun 2006, oplah Newsweek turun hingga 50% atau 1.5 juta eksemplar. Pendapatan iklan majalah ini juga berkurang 80%, dan total kerugian yang didapat mencapai US$ 40 juta atau kurang lebih Rp 385 milyar (US$ 1 = Rp 9.600)



Mungkin ada beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Diah, terkait perubahan media oleh Newsweek:

Banyak masyarakat yang sudah berpindah menggunakan media online

Ongkos produksi yang sangat besar dan biaya sirkulasi pengiriman majalah ke seluruh dunia tidak mampu menutup.

Harga kertas yang tinggi karena muncul isu global warming.

Alhasil, Time masih tetap menjadi majalah berita nomor satu di dunia. Pergerakannya dalam mengamati arus media lebih cepat dibandingkan Newsweek. Majalah Time masih bisa terus bertaan karena kecekatannya dalam mengikuti arus media digital. Time sudah menciptakan aplikasi majalah beritanya untuk diakses melalui iPad, smartphone dan sebagainya yang tentu saja lebih praktis dibandingkan membawa sebuah majalah konvensional. Tentu saja hal ini menyebabkan masyarakat berubah dalam keputusan pemilihan majalah berita karena segi kepraktisan.

Saat ini bisnis media sedang tidak stabil. Pasang surut sedang terjadi, oleh karena itu para pemain bisnis harus memperhatikan dan mampu membaca peta bisnis di seluruh dunia, demi kelangsungan dan kesuksesan bisnis di masa-masa yang akan datang.

Tumbangnya Media Amerika Serikat

Tabloit The Rocky Mountain News yang sudah berdiri selama 153 tahun akhirnya tutup pada 27 Februari 2009. The Seattle Post Intelligencer (Seattle PI) berhenti produksi setelah 146 tahun. Harian Chicago Tribune, San Francisco Chronicle melakukan perampingan karyawan besar-besaran pada tahun 2009.

Tumbangnya media di Amerika Serikat dikarenakan oleh krisis yang dialami pada tahun 2008 lalu. Krisis ini terjadi karena bank di Amerika memberikan banyak pinjaman uang kepada masyarakatnya untuk KPR, cicilan dan sebagainya, yang ternyata masyarakat tersebut tidak layak untuk diberikan pinjaman, karena masyarakat tidak sanggup membayar uang yang dipinjamkan tersebut sehingga perputaran uang di Amerika menjadi terhenti. Karena adanya krisis ini mengakibatkan harga minyak menjadi naik, harga kertas naik, bahkan banyak terjadi PHK. Amerika masih merasa bahwa hal ini masih bisa ditanggulangi, namun pada tahun 2009 akhirnya mereka menyadari bahwa hal tersebut tidak bisa dilanjutkan terus mernerus sehingga sudah terlanjur banyak media cetak yang tutup atau bangkrut.

Seorang professor bernama Philip Meyer mengatakan bahwa “The Vanishing Newspaper” atau yang dapat diartikan sebagai hilangnya surat kabar cetak, mungkin akan terjadi di bumi ini pada tahun 2043. Sejak saat itulah ia memprediksikan bahwa 2043 merupakan tahun terakhir dimana orang membaca media cetak.

Media di Indonesia



Berdasarkan data dari Serikat Perusahaan Pers (SPS) setidaknya ada 290 judul media cetak dengan oplah kurang kebih 14.5 eksemplar pada tahun 2000. Namun pada tahun 2011, jumlah tersebut melonjak menjadi sekitar 1000 judul dengan total oplah 25 juta eksemplar. Oplah terbesar masuk pada berita harian, majalah, tabloid, dan koran minggu. Oplah paling besar untuk berita harian, karena dalam berita harian disajikan berita yang up to date dan mendalam setiap harinya. Sekarang ini, masyarakat Indonesia tampaknya haus akan hiburan itulah penyebab mengapa majalah, tabloid, dan koran mingguan menjadi sangat laris, karena media cetak itu mampe menyediakan bacaan yang ringan dan menghibur setelah melalui hari-hari kerja yang melelahkan.

Ada beberapa alasan mengapa masyarakat Indonesia lebih tertarik untuk mencari hiburan daripada berita di media:

Masyarakat masih bodoh (mudah dibohongi oleh media)

Masyarakat lelah dengan pemberitaan yang tidak objektif. Contoh: kasus lumpur Lapindo.

Adanya perkembangan media online yang lebih cepat untuk mendapat info penting, maka masyarakat jadi merasa bahwa mereka sudah cukup mendapat informasi atau berita secara online, dan sekarang adalah saatnya bagi mereka untuk mencari hiburan.

Kesimpulannya, mungkin media cetak di Indonesia akan berganti seperti majalah Newsweek. Fenomena ini sudah dapat terlihat di Indonesia sejak tahun 2005-2009 yang menunjukan bahwa penggunaan media internet, multimedia, youtube dan sebagainya terus meningkat secara signifikan. Namun, masih belum dapat diketahui kapan hal ini dapat terwujud di Indonesia. Tapi, bagaimanapun juga media harus inovatif dan mempertimbangkan keuntungan dan kemajuan kedepannya.



Diposting oleh: Silviani Sehardjo

No comments:

Post a Comment